Sejarah Lokal Kabupaten Purworejo


 


1. NYAI BAGELEN

Pada zaman dahulu, Nyai Bagelen tinggal di sebuah negeri yang disebut sebagai Mendangkamulan atau Medang Gele atau Pagelen. Pemimpin kerajaan tersebut adalah Sri Prabu Kandiawan.

Anak tertua dari lima anak Sri Prabu Kandiawan adalah Sri Panuwun. Dia sedih karena kedua buah hatinya cacat. Sri Panuwun kemudian bertapa dan mendapatkan petunjuk untuk mendatangi sebuah sendang di Somolangu. Sesampainya di sana, Sri Panuwun diminta untuk menikahi anak perempuan Kyai Somolangu.

Dari pernikahan tersebut, lahirlah Raden Rara Wetan yang mendapatkan julukan Nyai Bagelen. Julukan ini muncul karena dialah yang jadi pewaris wilayah Bagelen di kemudian hari.

Saat dewasa, Nyai Bagelen menikah dengan Pangeran Awu-Awu Alit dan dianugerahi tiga buah hati; Raden Bagus Gento, Raden Rara Taker, serta Raden Rara Pitrah.

Ayah Nyai Bagelen, Sri Panuwun, memutuskan untuk memerintah area Hargopura saja. Dia meminta Pangeran Awu-Awu Langit memerintah Bagelen sembari tetap melakukan aktivitas sehari-hari sebagai petani ketan wulung (ketan hitam) dan kedelai. Keduanya merupakan hasil pertanian unggulan dari Bagelen.

Pada suatu hari, tepatnya saat Selasa Wage, Nyai Bagelen dikejutkan dengan seekor anak lembu yang menyusu pada dadanya. Soalnya, dia mengira anak-anaknya yang menyusu. Tapi, kedua anak perempuannya, yaitu Raden Rara Taker dan Raden Rara Pitrah ternyata sudah menghilang.

Dia pun menanyakan hal ini ke suaminya yang sedang memilah bibit ketan hitam. Sayangnya, suaminya memberikan jawaban yang kurang menyenangkan dan membuat Nyai Bagelen marah. Dia kemudian membongkar tumpukan ketan hitam dan kedelai dari dalam lumbung.

Karena melakukannya sambil marah, biji-bijian tersebut terlempar sampai ke desa sebelah, yaitu Katesan dan Wingko Tinumpuk. Yang mengenaskan, Nyai Bagelen kemudian menemukan kedua putrinya sudah meninggal di dalam lumbung.

Nyai Bagelen dan Raden Awu-Awu Langit kemudian bertengkar saling menyalahkan. Sang suami akhirnya pulang ke daerahnya, Awu-Awu sampai meninggal, sementara Nyai Bagelen tetap tinggal di Bagelen.

Gara-gara kejadian ini, Nyai Bagelen yang sedih kehilangan suami dan kedua putrinya berpesan pada putranya Raden Bagus Gentha agar keturunannya nanti menganggap hari pasaran Wage sebagai hari pantangan. Pada hari tersebut, warga Bagelen nggak boleh mengadakan hajatan, bepergian, atau berdagang. Lebih dari itu, warga Bagelen juga kemudian dilarang untuk memelihara lembu, menanam kedelai, serta menggunakan pakaian yang dulu sering dipakai Nyai Bagelen, yaitu lurik, kebaya gadung melati, serta kemben bagau tulis.

Nggak hanya berpesan untuk mematuhi pantangan-pantangan tersebut, Nyai Bagelen juga meminta keturunannya untuk mengedepankan kejujuran, kesederhanaan, dan berusaha untuk memberi daripada menerima.



2. SUNAN GESENG

Sunan Geseng yang memiliki nama asli Raden Mas Cakrajaya atau Cokrojoyo adalah murid Sunan Kalijaga. Sebutan Sunan Geseng diberikan Sunan Kalijaga kepada Cokrojoyo karena begitu setia terhadap perintahnya. 

Raden Mas Cokrojoyo sendiri adalah anak dari Pangeran Semono yang merupakan keturunan Prabu Brawijaya. Menurut cerita, konon pertemuan Cokrojoyo dengan Sunan Kalijaga terjadi ketika Sunan Kalijaga melakukan syiar Islam di daerah Bagelen, yang kini menjadi Purworejo.

Setibanya di daerah Bagelen, Sunan Kalijaga mendengar Cokrojoyo yang seorang penyadap nira sedang nembang atau bernyanyi. Mendengar suara nyanyian Cokrojoyo, Sunan Kalijaga sangat takjub, kemudian dia mendekati Cokrojoyo

Kalijaga pun bertanya mengenai hasil penjualan dari gula aren tersebut, dan Cokrojoyo pun menjawab bahwa hasil gulanya biasa digunakan untuk fakir miskin.

Mendengar jawaban tersebut Sunan Kalijaga kemudian memerintahkan Cokrojoyo untuk mengubah syair tembangnya dengan lantunan dzikir dan pujian kepada Allah. Sunan Kalijaga kemudian melanjutkan perjalanan ke tempat lain," lanjutnya

Setelah itu, lanjut Budiono, Cokrojoyo kembali melakukan kegiatan membuat gula aren dengan bernyanyi menggunakan syair barunya yang didapat dari Kanjeng Sunan. Cokrojoyo sangat terkejut melihat gula hasil olahannya ternyata menjadi emas batangan.

Setelah menyadari keanehan tersebut Cokrojoyo kemudian mencari Sunan Kalijaga untuk mengucapkan terimakasih sekaligus meminta agar dirinya diangkat menjadi murid Sunan Kalijaga.

Akhirnya Cokrojoyo bertemu dengan Kanjeng Sunan dan mengutarakan maksudnya agar diangkat menjadi murid. Mendengar apa yang disampaikan oleh Cokrojoyo, Sunan Kalijaga memberikan sebuah syarat agar Cokrojoyo tinggal di hutan hingga Sunan Kalijaga kembali ke tempat tersebut.

"Dengan menancapkan tongkatnya, Sunan Kalijaga berpesan kepada Cokrojoyo agar menunggui tongkat tersebut sambil berdzikir kepada Allah SWT hingga Sunan Kalijaga kembali lagi le tempat itu," imbuh Budiono.

Waktu pun berlalu, hingga tempat dimana Cokrojoyo berdzikir sambil menunggu tongkat Sunan Kalijaga telah ditumbuhi ilalang dan tumbuhan liar lainnya. Sunan Kalijaga yang telah lama berkelana, teringat kepada calon muridnya yang telah lama dia tinggalkan.

Maka Kalijaga pun kembali ke hutan tersebut, tapi tak menemukan Cokrojoyo karena lebatnya tumbuhan. Karena tak kunjung ketemu, Sunan pun membakar hutan itu untuk memudahkan pencarian.


"Akhirnya Cokrojoyo terlihat, sekalipun api telah membakar tumbuhan di sekelilingnya tapi tubuh Cokrojoyo dan tongkat sang Sunan tak terbakar sedikitpun, hanya bagian bajunya yang terbakar dan tubuhnya nampak agak hitam seperti gosong. Menyaksikan kesetiaan dan kekuatan hati Cokrojoyo tersebut, akhirnya sejak saat itu Cokrojoyo diberi gelar Sunan Geseng (gosong) oleh Sunan Kalijaga



Tidak ada komentar:

Posting Komentar